Kamis, 11 Desember 2008

Batu rubi yang retak

Alkisah, di sebuah kerajaan, raja memiliki sebuah batu rubi yang sangat indah. Raja sangat menyayangi, mengaguminya, dan berpuas hati karena merasa memiliki sesuatu yang indah dan berharga. Saat permaisuri akan melangsungkan ulang tahunnya, raja ingin memberikan hadiah batu rubi itu kepada istri tercintanya. Tetapi saat batu itu dikeluarkan dari tempat penyimpanan, terjadi kecelakaan sehingga batu itu terjatuh dan tergores retak cukup dalam.

Raja sangat kecewa dan bersedih. Dipanggillah para ahli batu-batu berharga untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Beberapa ahli permata telah datang ke kerajaan, tetapi mereka menyatakan tidak sanggup memperbaiki batu berharga tersebut.

“Mohon ampun, Baginda. Goresan retak di batu ini tidak mungkin bisa diperbaiki. Kami tidak sanggup mengembalikannya seperti keadaan semula.”

Kemudian sang baginda memutuskan mengadakan sayembara, mengundang seluruh ahli permata di negeri itu yang mungkin waktu itu terlewatkan.

Tidak lama kemudian datanglah ke istana seorang setengah tua berbadan bongkok dan berbaju lusuh, mengaku sebagai ahli permata. Melihat penampilannya yang tidak meyakinkan, para prajurit menertawakan dia dan berusaha mengusirnya. Mendengar keributan, sang raja memerintahkan untuk menghadap.

“Ampun Baginda. Mendengar kesedihan Baginda karena kerusakan batu rubi kesayangan Baginda, perkenankanlah hamba untuk melihat dan mencoba memperbaikinya. ”

“Baiklah, niat baikmu aku kabulkan,” kata baginda sambil memberikan batu tersebut.

Setelah melihat dengan seksama, sambil menghela napas, si tamu berkata, “Saya tidak bisa mengembalikan batu ini seperti keadaansemula, tetapi bila diperkenankan, saya akan membuat batu rubi retak ini menjadi lebih indah.”

Walaupun sang raja meragukan, tetapi karena putus asa tidak ada yang bisa dilakukan lagi dengan batu rubi itu, raja akhirnya setuju. Maka, ahli permata itupun mulai memotong dan menggosok.

Beberapa hari kemudian, dia menghadap raja. Dan ternyata batu permata rubi yang retak telah dia pahat menjadi bunga mawar yang sangat indah. Baginda sangat gembira, “Terima kasih rakyatku. Bunga mawar adalah bunga kesukaan permaisuri, sungguh cocok sebagai hadiah.”

Si ahli permata pun pulang dengan gembira. Bukan karena besarnya hadiah yang dia terima, tetapi lebih dari itu. Karena dia telah
membuat raja yang dicintainya berbahagia.

Netter yang luar biasa…. Di tangan seorang yang ahli, benda cacat bisa diubah menjadi lebih indah dengan cara menambah nilai lebih yang diciptakannya. Apalagi mengerjakannya dengan penuh ketulusan dan perasaan cinta untuk membahagiakan orang lain.

TIDAK ADA MANUSIA YANG SEMPURNA DI DUNIA INI

Shi Shang Mei You Shi Quan Shi Mei De Ren

"Saya kira demikian pula bagi manusia, tidak ada yang sempurna, selalu ada kelemahan besar ataupun kecil. Tetapi jika kita memiliki kesadaran dan tekad untuk mengubahnya, maka kita bisa mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada sekaligus mengembangkan Kelebihan-kelebihan yang kita miliki sehingga keahlian dan karakter positif akan terbangun. Dengan terciptanya perubahan-perubahan positif tentu itu merupakan kekuatan pendorong yang akan membawa kita pada kehidupan yang lebih sukses dan bernilai!"

Sumber: Batu Rubi yang Retak oleh Andrie Wongso

Berhentilah Jadi Gelas

Cerita ini saya dapatkan dari seorang teman, saya harapkan sih cerita ini benar-benar bermanfaat. Jangan dulu komentar, yang penting baca dulu, ocey ???

Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya
belakangan ini selalu tampak murung.

"Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di
dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?" sang Guru bertanya.

"Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk
tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya," jawab sang
murid muda.

Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam.
Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu."
Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan
gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana
yang diminta.

"Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu," kata
Sang Guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit."
Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air
asin.

"Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru.

"Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid dengan wajah yang masih
meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis
keasinan.

"Sekarang kau ikut aku." Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat
tempat mereka. "Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau."
Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa
bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa
asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah
di hadapan mursyid, begitu pikirnya.

"Sekarang, coba kau minum air danau itu," kata Sang Guru sambil
mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir
danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan
membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin
dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya
kepadanya, "Bagaimana rasanya?"

"Segar, segar sekali," kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan
punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber
air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.
Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang
tersisa di mulutnya.

"Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?"

"Tidak sama sekali," kata si murid sambil mengambil air dan
meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya,
membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

"Nak," kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. "Segala masalah
dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih.
Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus
kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai
untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang
dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun
demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang
bebas dari penderitaan dan masalah."

Si murid terdiam, mendengarkan.

"Tapi Nak, rasa `asin' dari penderitaan yang dialami itu sangat
tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya
tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu
jadi sebesar danau." (From : Suluk - Blogsome)

Sumber : http://groups.yahoo.com/group/Motivasi_Net/message/399

LOMPATAN SI BELALANG…. .

Di suatu hutan, hiduplah seekor belalang muda yang cerdik. Belalang muda ini adalah belalang yang lompatannya paling tinggi di antara sesama belalang yang lainnya. Belalang muda ini sangat membanggakan kemampuan lompatannya ini. Sehari-harinya belalang tersebut melompat dari atas tanah ke dahan-dahan pohon yang tinggi, dan kemudian makan daun-daunan yang ada di atas pohon tersebut. Dari atas pohon tersebut belalang dapat melihat satu desa di kejauhan yang kelihatannya indah dan sejuk. Timbul satu keinginan di dalam hatinya untuk suatu saat dapat pergi ke sana.

Suatu hari, saat yang dinantikan itu tibalah. Teman setianya, seekor burung merpati, mengajaknya untuk terbang dan pergi ke desa tersebut. Dengan semangat yang meluap-luap, kedua binatang itu pergi bersama ke desa tersebut. Setelah mendarat mereka mulai berjalan-jalan melihat keindahan desa itu. Akhirnya mereka sampai di suatu taman yang indah berpagar tinggi, yang dijaga oleh seekor anjing besar. Belalang itu bertanya kepada anjing, “Siapakah kamu, dan apa yang kamu lakukan di sini?”

“Aku adalah anjing penjaga taman ini. Aku dipilih oleh majikanku karena aku adalah anjing terbaik di desa ini,” jawab anjing dengan
sombongnya.

Mendengar perkataan si anjing, panaslah hati belalang muda. Dia lalu berkata lagi, “Hmm, tidak semua binatang bisa kau kalahkan. Aku menantangmu untuk membuktikan bahwa aku bisa mengalahkanmu. Aku menantangmu untuk bertanding melompat, siapakah yang paling tinggi diantara kita.”

“Baik,” jawab si anjing. “Di depan sana ada pagar yang tinggi. Mari kita bertanding, siapakah yang bisa melompati pagar tersebut.”

Keduanya lalu berbarengan menuju ke pagar tersebut. Kesempatan pertama adalah si anjing. Setelah mengambil ancang-ancang, anjing itu lalu berlari dengan kencang, melompat, dan berhasil melompati pagar yang setinggi orang dewasa tersebut. Kesempatan berikutnya adalah si belalang muda. Dengan sekuat tenaga belalang tersebut melompat. Namun, ternyata kekuatan lompatannya hanya mencapai tiga perempat tinggi pagar tersebut, dan kemudian belalang itu jatuh kembali ke tempatnya semula. Dia lalu mencoba melompat lagi dan melompat lagi, namun ternyata gagal pula.

Si anjing lalu menghampiri belalang dan sambil tertawa berkata, “Nah, belalang, apa lagi yang mau kamu katakan sekarang? Kamu sudah kalah.”

“Belum,” jawab si belalang. “Tantangan pertama tadi kamu yang menentukan. Beranikah kamu sekarang jika saya yang menentukan
tantangan kedua?”

“Apa pun tantangan itu, aku siap,” tukas si anjing.

Belalang lalu berkata lagi, “Tantangan kedua ini sederhana saja. Kita berlomba melompat di tempat. Pemenangnya akan diukur bukan dari seberapa tinggi dia melompat, tapi diukur dari lompatan yang dilakukan tersebut berapa kali tinggi tubuhnya.”

Anjing kembali yang mencoba pertama kali. Dari hasil lompatannya, ternyata anjing berhasil melompat setinggi empat kali tinggi
tubuhnya. Berikutnya adalah giliran si belalang. Lompatan belalang hanya setinggi setengah dari lompatan anjing, namun ketinggian
lompatan tersebut ternyata setara dengan empat puluh kali tinggi tubuhnya. Dan belalang pun menjadi pemenang untuk lomba yang kedua ini. Kali ini anjing menghampiri belalang dengan rasa kagum.

“Hebat. Kamu menjadi pemenang untuk perlombaan kedua ini. Tapi pemenangnya belum ada. Kita masih harus mengadakan lomba ketiga,” kata si anjing.

“Tidak perlu,” jawab si belalang. “Karena, pada dasarnya pemenang dari setiap perlombaan yang kita adakan adalah mereka yang menentukan standar perlombaannya. Pada saat lomba pertama kamu yang menentukan standar perlombaannya dan kamu yang menang. Demikian pula lomba kedua saya yang menentukan, saya pula yang menang.” “Intinya adalah, kamu dan saya mempunyai potensi dan standar yang berbeda tentang kemenangan. Adalah tidak bijaksana membandingkan potensi kita dengan yang lain. Kemenangan sejati adalah ketika dengan potensi yang kamu miliki, kamu bisa melampaui standar dirimu sendiri. Iya nggak sih?”

Cerita sederhana di atas pernah membuat saya malu pada diri sendiri. Ketika masih berumur awal 30-an tahun, betapa sering saya membanding-bandingkan diri saya dengan orang lain. Membandingkan antara profesi saya dengan profesi si Anu, antara pendapatan saya dan pendapatan si Banu, antara mobil saya dengan mobil si Canu, antara kesuksesan saya dengan kesuksesan si Danu, dan seterusnya. Hasilnya? Ada kalanya muncul perasaan-perasaan negatif, seperti iri hati atau kecewa pada diri sendiri, yang menganiaya rasa syukur atas kehidupan. Namun kala yang lain muncul juga semacam motivasi untuk bisa lebih maju dan berusaha lebih tekun agar bisa melampaui orang lain (pesaing?).

Belakangan, saya menemukan cara bersaing yang lebih cocok untuk diri sendiri. Saya mulai mengukur kemajuan saya tahun ini berdasarkan prestasi saya tahun kemarin. Saya tetapkan bahwa tahun ini saya harus lebih sehat dari tahun kemarin; pendapatan dan sumbangan tahun ini diupayakan lebih tinggi dari tahun lalu; pengetahuan yang disebarkan tahun ini ditingkatkan dari tahun silam; relasi dan tali silahturahmi juga direntangkan lebih lebar; kualitas ibadah diperdalam; perbuatan baik dipersering; dan seterusnya. Dengan cara ini, saya ternyata lebih mampu mengatasi penyakit-penyakit seperti iri hati, dengki, dan rasa kecewa pada diri. Berlomba untuk memecahkan rekor pribadi yang baru, melampaui rekor yang tercapai di masa lalu, ternyata menimbulkan keasyikan dan rasa syukur yang membahagiakan.

Mungkin benar kata orang bijak dulu: kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas orang lain, melainkan kemenangan atas hawa nafsu diri sendiri. Setujukah?

Sumber: Memecahkan Rekor oleh Andrias Harefa.

Selasa, 09 Desember 2008

Tamak, "Oh, no !!!!!

Pernahkah kita meresa selalu ingin mendapatkan hal yang lebih dan tak pernah bersyukur dengan apa yang diberikan Tuhan kepada kita? Itulah yang disebut tamak, tamak berarti kita ingin sesuatu yang lebih dari sekarang dan kita tak pernah puas dengan apa yang kita miliki saat ini. Berikut adalah kisah sdeorang raja semut yang berlaku tamak dan akibat dari perbuatannya. Perlu diketahui, cerita ini bukanlah karangan saya, akan tetapi saya mengutipnya dari http://www.erabaru.or.id/20081208500/raja-semut.html. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada penulis yang telah menulis cerita ini, semoga kebaikan kan selalu mengalir kepada penulis. berikut ceritanya:

Pada suatu hari, raja semut yang berada disarangnya yang berada didalam goa, memerintah prajurit-prajuritnya keluar mencari makanan. Seekor semut kecil bertemu dengan seekor lalat yang mati, lalu pulang melapor kepada rajanya: ”Saya melihat seekor lalat mati ditepi jalan, ayo kita ramai-ramai menggotong pulang lalat tersebut dan disantap bersama.”

Raja semut dengan malas-malas berkata: ”Seekor lalat mana cukup untuk kita semua makan, saya tidak akan pergi.” Beberapa saat kemudian, datang lagi seekor semut melapor : ” Dipadang rumput saya melihat seekor capung yang mati, kita bawa pulang untuk disantap ya!” Raja semut menggelengkan kepalanya : ”Seekor capung mana cukup untuk kita makan, tidak saya tidak akan pergi.” Setelah berkata demikian datang lagi seekor semut melapor : ”Saya melihat seekor kerbau yang mati dibawah sebatang pohon, kita kesana menyantapnya.” Setelah mendengar perkataan semut ini Raja semut dengan gembira memerintah semua prajurit-prajuritnya ikut bersamanya pergi menyantap daging kerbau.

Semua prajurit-prajuritnya dengan gembira menari-nari, mereka mengikuti raja semut pergi ke bawah batang pohon, begitu mereka sampai disana mereka melihat seekor kerbau yang terbaring dibawah pohon, sebelum diperintah raja semut, prajurit-prajurit tersebut semuanya menyerbu ke badan kerbau, ada yang menggigit, ada yang mengerogoti kulitnya, ada yang menarik kulitnya, pemandangan ini kelihatan lebih seru dari semut merebut gula-gula. Rupanya kerbau hanya berbaring beristirahat saja, begitu digigit dan dan di gerogoti oleh para semut, kerbau langsung terbangun dari tidurnya. Begitu terbangun dari tidurnya, kerbau merasa badannya gatal-gatal digigit semut, lalu membalikkan badannya, begitu membalikkan badan banyak semut-semut yang mati tertimpa oleh badannya yang besar. Melihat situasi demikian raja semut memerintah prajurit-prajuritnya segera lari dari sana, sebelum dia selesai berkata, kerbau sudah berdiri dan berjalan menuju ke sungai. Para semut dengan ketakutan berteriak meminta tolong! Kerbau sampai di sungai langsung mencebur dirinya kedalam sungai, para semut terapung diatas air dan dihanyutkan oleh air sungai.

Raja semut terhanyut sampai ditepi sungai dengan susah payah dia naik ke daratan, melihat semua prajurit-prajuritnya hilang dibawa arus, dengan menyesal dan suara keras dia menangis dengan sedih di pinggir sungai : ”Semua ini terjadi karena rakus dan sial, Kenapa saya demikian tamak!”

Melalui cerita tadi, diharapkan kita semua menyadari akan ruginya prilaku tamak. Jangan sampai kita lupa kan daratan hanya untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. berprilaku wajarlah dan ingat siapa diri kita dan jangan tamak........!

Senin, 01 Desember 2008

Semut pun berjuanG

Pernahkah diantara kita mengeluh atas perjuangan hidup? Semua manusia pasti pernah mengalami hambatan dalam perjuangannya.Perjuangan hidup yang tanpa henti baik itu sekolah, karier, pasangan, bahkan kehidupan bertetangga sampai spiritual. Sobat!!!....Jika anda mengeluh atas perjuangan hidup anda yang terus menerus mengalami kegagalan, maka simaklah kisah di bawah ini !!!!! yu....ya...yuuuuuu!

Di sebuah pedalaman terdapatlah sebuah desa yang jauh, jauh, dan jauh dari keramaian kota. Tepatnya desa tersebut berada di pegunungan dan dikelilingi hutan belantara. Diceritakan hiduplah seorang bocah ingusan yang memiliki keinginan yang kuat. Katakanlah namanya Putra. Putra adalah seorang lelaki pencari kayu bakar di hutan. Ibunya hanyalah seorang wanita pemecah biji kenari yang dijualnya untuk sekedar menambah kebutuhan sehari-hari. Karena melihat putra yang selalu bersemangat dan gigih dalam mengerjakan sesuatu, maka ayah dan ibu putra menyekolahkannya ke kota.
Putra adalah seorang yang sederhana, ia pergi ke kota hanya berbekal sekantung nasi yang dibuat oleh ibunya serta segenggam uang perak yang dikumpulkan ayahnya untuk biaya putra selama ia hidup di kota. hanya satu pesan ayahnya, "Ingatlah pesan ini Putra, ketika kau menghadapi kesulitan apapun berdoalah selalu kepada Tuhanmu, dan lihatlah apa yang ada disekelilingmu".

Sesampainya di kota, Putra terus mencari guru dan tempat ia belajar sesuai dengan apa yang I minati. Ia pun menemukan banyak perguruan mashur dan terkenal, namun sekali lagi putra tidak bisa memasuki perguruan itu karna harganya yang mahal. Dua pilihan Putra, masuk perguruan tapi ia tidak mendapat tempat untuk menginap dan tak ada uang untuk membeli makanan, atau ia menyewa rumah kecil dan bekal untuk mencukupi kebutuhannya selaam satu bulan kedepan. Namun ia pun tertolong setelah membaca sebuah lowongan pekejaan di sebuah rumah makan. Ia pun melamar pekerjaan tersebut dan bekerja sebagai pelayan sehingga Putra mendapatkan cukup uang untuk biaya sekolah dan hidupnya sehari-hari.

Singkat cerita, Putra terus menerus belajar, belajar, belajar dan belajar. Halaman demi halaman buku ia baca, kata demi kata sang guru ia ingat dan renungkan, namun ia tetap tidak mampu mencerna pelajaran yang diberikan sang guru. Ia tidak mampu membaca menyamai yang lain, bukku yang mahal, ngantuk yang teramat sangat saat membaca, dan musuh besarnya malas yang selalu menghampirinya. Hal tersebut terus dilalui oleh Putra hari demi hari, minggu ke minggu, bulen yang satu ke bulan berikutnya, hingga genaplah tiga tahun ia belajar di perguruan tersebut. Capek, lelah dan putus asa selalu menyelimuti Putra setiap saat, hingga suatu saat terbesit di pikirannya untuk menyerah dan pulang ke desa.

Disela-sela keputusasaan, Putra melamun dan menyender di dinding kamar tempat ia tinggal di kota. Kamarnya begitu sempit dan tampak berantakan. berserakan buku, pakaian, hingga remah makanan sisa hidangan santap malamnyanya kemarin. sambil term,enung ia memperhatikan lari seekor semut yang memunguti remah makanan. Terlihatlah semut tersebut mengangkat remah yang besarnya kira-kira tiga kali dari tubuh semut tersebut.

Naik....naik....naik kedinding, itulah pekerjaan semut. Membawa makanan yang tampak besar baginya. Naik....naik....naik dan terjatuhlah sang semut. Tak merasa kapok semut sang semut memungut kembali remah makanan tadi dan.....naik.....naik.....naik.......naik..terjatuh kembali.

Berulang kali sang semut mencoba ia tetap terjatuh.....terjatuh dan terjatuh. Masih terus memperhatikan sang semut, Putra tertawa kecil melihat tingkah semut yang menurutnya lucu. Sampai pada saat sang semut mencapai puncak dan berhasil membawa remah makanan tadi ke atas. Putra kagum dan terkaget, sang semut ........ kecil, tak berarti , dan cuma hewan telah memberikan pelajaran yang berarti bagi Putra. "Semut pun berjuang dan tak pernah kapok dan lelah, dan ia pun berhasil, apalagi seorang Putra yang manusia memiliki akal pikiran".

Sejak saat itu Putra berusaha keras dan terus berusaha, menghadapi berbagai macam kegagalan namun akhirnya ia berhasil dalam perjuangannya,...........Menjadi pintar dan bermanfaat bagi orang-orang disekelilingnya...............(Putra Indah)